HUKUM DAN STRATIFIKASI SOSIAL ANALISA TANGGUNGJAWAB NEGARA TERHADAP PENGEMIS YANG DIANAKTIRIKAN

Indonesia merupakan negara majemuk dengan kebutuhan yang berbeda-beda setiap daerahnya. Hal ini mengakibatkan pembagunan nasional tidak merata dan menyebabkan kesenjangan sosial. Masalah yang timbul sangat kompleks mulai dari kesehatan, kemiskinan, dan pendidikan. Salah satu probelama yang dihadapi oleh Indonesia yakni masalah kemisknan yang kian akut. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang dihadapi dan menjadi perhatian diberbagai negara di dunia. Semua negara di dunia sepakat bahwa kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang menghambat peradaban dan kesejahteraan. Jumlah penduduk yang meningkat, sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi perkembangan zaman dan minimya lapangan pekerjaan. Hal-hal diatas merupakan faktor yang memperngaruhi tingkat kemiskinan yang kini semakin tinggi. Peraturan tentang kemiskinan sendiri diatur dalam pasal 34 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa negara mempunyai peran dalam merawat dan membimbing fakir miskin dan anak-anak terlantar. 

Hampir disetiap sudut daerah khususnya di perkotaan permasalahan-permasalahan yang timbul karena faktor kemiskinan ada dengan jenis yang beragam. Misalnya pengemis merupakan masalah sosial yang akut. Keduanya menjadi masalah sosial baik kota besar maupun di kota kecil. Hal ini dimungkinkan karena kemiskinan yang menjadi penyebab utama munculnya pengemis yang belum berhasil dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Dan sebagai gejala sosial masalah pengemis dan gelandangan sudah lama hadir ditengah-tengah kehidupan kita. Maraknya keberadaan pengemis dan gelandangan di perkotaan telah menjadi salah satu masalah sosial. Banyak faktor yang mengakibatkan banyaknya atau membludaknya pengemis yakni salah satunya disebabkan karena kemiskinan atau sulitnya mencari pekerajaan yang layak dengan kemampuan akademik ataupun non akademik yang dimiliki tiap individu yang terbatas. Para pengemis tetap beroprasi atau tetap melakukan aktivitasnya sebagai seorang pengemis walaupun sudah ada peraturan yang melarang melakukan pekerajan untuk mendapat penghasilan dengan meminta-mina atau mengemis.

Pada kota Malang Jawa Timur sendiri, banyak sekali para pengemis baik di area sekitar universitas, pasar, tempat wisata bahkan jalanan umum. Meskipun sudah ada aturan yang melarang mecari kerja dengan cara meminta-minta atau mengemis dengan mengaharap belas kasih. Berdasarkan pada realitas diatas, penelitian sederhana ini hendak menelisik lebih jauh tentang analisis sosiologis efektifitas hukum yang ada di masyarakat kota Malang khususnya aturan yang mengatur tentang pengemis.

Pengemis ialah fenomena kemiskinan sosial, ekonomi dan budaya yang dialami sebagian amat kecil penduduk kota besar, sehingga menempatkan mereka pada lapisan sosial paling bawah di masyarakat. Kata gelandangan dan pengemis disingkat dengan “gepeng”, masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan singkatan “gepeng” tersebut yang mana tidak hanya menjadi kosa kata umum dalam percakapan sehari hari dan topik pemberitaan media massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam dalam kebijakan Pemerintah merujuk pada sekelompok orang tertentuyang lazim ditemui dikota-kota besar khususnya di Kota Malang.

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunia rumah tinggal yang lazim, maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini adalah orang – orang yang bermukim pada daerah – daerah bukan tempat tinggal seperti dibawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper toko, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.[1]

Pengertian gelandangan tersebut memebrikan pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat dari pada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah – pindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.[2]

Maka dapat disimpulkan bahwagelandangan adalah seseorang yang menjalankan hidup dalam lingkungan masyarakatdengan keadaan kehidupan sosial yang tidak normal serta mengembara untuk mencari pekerjaan dan tempat tinggal walupun itu tidak tetap. Sedangkan pengemis adalah seseorang yang menjalankan hidupnya dengan meminta – minta di muka umum untukpenghasilannya.

Dalam Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Sementara itu pasal 34 ayat 2 menegaskan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.Berdasarkan pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun1980Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis pada bagian pertimbangan, menyatakan[3] :

  1. Bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.
  2. Bahwa usaha penanggulangan tersebut, di samping usaha-usaha pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan pengemis agar mampu mencapai taraf hidup kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai Warga Negara Republik Indonesia.

Diatur lebih lanjut dalam pasal 6 ayat (2) huruf D peraturan daerah kota malang  Nomor 9 Tahun 2013 yang menyatakan pemerintah daerah melakukan seleksi sebagai tindak lanjut dari penanggulangan pengemis tersebut dengan cara dijadikannya sebagai pekerja sosial penyapu jalan dengan diberi imbalan.Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot sebagaimana  dikutip Felik bahwasannya Hukum akan mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannyadapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapatmenghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapatmembuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegelapanmaka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadikeharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasanabaru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelsaikan.[4] Keberlakuan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnyasebagai bentuk kepatuhan dan pelaksana norma jika validitas adalah kualitashukum, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenaranyabukan tentang hukum itu sendiri.[5]Selain itu wiiliam Chamblish dan Robert Bseidman mengungkapkan bahwa bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhioleh all other societal personal force(semua ketakutan dari individumasyarakat) yang melingkupi seluruh proses.[6] Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkansuatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatuperbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihatjenjang antara hukum dalam tindakan (law in action)dengan hukum dalamteori (law in theory)atau dengan kata lain kegiatan ini akan memperlihatkan kaitannya antara law in the book dan law in action.[7]


[1]Saptono Iqbali, ”Studi Kasus Gelandang dan Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan Kubu kabupaten Karang Asem”, Jurnal Piramida, Vol. 4, No. 1, Juli 2008.

[2] Ibid.

[3] Alkotsar, Artidjo (1994). Advokasi Pengemis. Rajawali, Jakarta hlm 55

[4]Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi,Edsis Pertama, ctk Kesatu, Rajawali Press, Jakarta, 2013, Hal.308

[5]Hans Kelsen, General Teory of Law and State, Translete by Anders Wedberg, New York:Russel and Russel , 1991, dikuitip dari Jimly Ashidiqqie dan M ali Safa’at, Teori HansKelsenTentang Hukum,ctk. Kedua , Konstitusi Press, Jakarta, 2012, Hal 39-40

[6]RobertB seidman, LaworderandPower, Adition Publishing Company Wesley Readingmassachusett, 1972, Hlm 9-13.

[7]Soleman B Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta,1993, Hal 47-48.

Published by Fahmi Widi Waspada

Penggiat hukum dan edukasi publik tentang Penerapan hukum sebagai alat untuk menciptakan Indonesia yang aman, tertib, dan rukun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab Hukum bukan alat pemuas nafsu penguasa.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started